Beranda | Artikel
Hukum Jamaah Kedua Dalam Satu Masjid(1)
Rabu, 8 Desember 2021

HUKUM JAMA’AH KEDUA DALAM SATU MASJID

Sangat sering terjadi pengulangan berjama’ah dalam satu masjid, sehingga lebih dari dua jama’ah. Bahkan terkadang terjadi dua jama’ah dalam satu waktu. Adanya kenyataan ini mengharuskan kita mengetahui tinjauan hukum syari’at tentangnya, agar semakin jelas permasalahan dan hukum syari’atnya.

Melihat keadaan jama’ah kedua dalam satu masjid, disebabkan karena beberapa kondisi.

Pertama : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang tidak memiliki imam rawatib. Hal ini diperbolehkan[1], dan merupakan ijma’ sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi. Beliau menyatakan, “Apabila masjid tidak memiliki imam rawatib (tetap), maka -menurut ijma’- diperbolehkan mengadakan jama’ah kedua dan ketiga atau lebih.”[2]

Kedua : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang ada imam rawatibnya, namun dilakukan karena kapasitas masjidnya tidak mampu menampung seluruh jama’ah shalat. Demikian juga hal ini diperbolehkan.

Ketiga : Melakukan jamaah kedua di masjid yang sama pada waktu yang bersamaan pula. Hal ini disepakati oleh para ulama keharamannya[3] dan dikuatkan dengan beberapa hal.

  1. Hal ini menyelisihi amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena kejadian ini tidak pernah ada pada zaman mereka. Syaikh ‘Alisi Al Mishri menjelaskan, bahwa awal terjadinya berbilang jama’ah dalam satu masjid terjadi pada abad keenam dan belum pernah ada sebelumnya[4].
  2. Menyelisihi hikmah pensyari’atan berjama’ah, yang berupa kesatuan hati dan persatuan. Jama’ah kedua yang dilakukan pada masjid dan waktu yang sama, tentu akan memecah-belah persatuan dan kesatuan hati kaum muslimin.
  3. Mengganggu dan memecah konsentrasi serta kekhusyukan orang yang shalat.
  4. Tidak dapat melakukan taswiyatus shufuf (merapatkan dan meluruskan shaf). Ini tentunya menyelisihi anjuran dan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Terdapat penghinaan dan celaan kepada iman rawatib. Padahal para imam madzhab, khususnya madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah sangat menganjurkan penjagaan hak imam rawatib. Tidak boleh selainnya menegakkan jama’ah bila ia tidak ada di masjid, kecuali dengan udzur, seperti: tidak mungkin ia hadir di masjid dan takut hilang waktu shalat.[5]

Keempat : Mengerjakan jama’ah lebih dari sekali di mushala-mushala pinggir jalan dan pasar (pusat perbelanjaan). Hukum jama’ah ini diperbolehkan, walaupun ada jama’ah ketiga, keempat dan seterusnya. Sebabnya, karena mushala-mushala ini tidak dapat diatur jama’ahnya, silih berganti datangnya[6]. Imam Syafi’i berkata,“Adapun masjid yang dibangun di pinggir jalan atau pojokannya yang tidak ada mu’adzin tetap dan juga tidak ada imam tetapnya, tempat shalat dan istirahat orang yang lalu-lalang disana, maka aku tidak melarangnya.”[7]

Kelima : Imam mengulangi shalatnya berjama’ah dua kali, dengan mengimami satu shalat dua kali. Ini diharamkan. Walaupun ia berniat shalat yang kedua mengqadha shalat yang terlewatkan. Apalagi shalat fardhu harus pada waktunya. Ini disepakati oleh para imam madzhab sebagai perkara yang haram.[8]

Keenam : Mengerjakan jama’ah kedua dalam masjid yang ada imam rawatibnya setelah selesai jama’ah pertama bersama imam rawatib. Pada masalah ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.

Pendapat Pertama : Melarang secara tegas dan orang yang tertinggal pada jama’ah pertama hendaklah shalat sendirian.

Demikian ini pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Al Mubarak, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, Az Zuhri, Utsman Al Bitti, Rabi’ah, An Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah, Ya’qub bin Ibrahim Abu Yusuf Al Qadhi, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Al Qasim, Yahya bin Sa’id, Salim bin Abdillah, Abu Qilabah, Abdurrazaq Ash Shan’ani, Ibnu ‘Aun, Ayub As Sakhtiyani, Al Hasan Al Bashri, ‘Al Qamah, Al Aswad bin Yazid, An Nakha’i dan Abdillah bin Mas’ud.

Dalam menetapkan pendapatnya, ulama-ulama ini mengambil dalil nash dan akal. Adapun dari nash, dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, terdiri dari tiga sisi, Al Qur’an, As Sunnah (Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan atsar para sahabat.

1. Dalil Al Qur’an
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ لَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang. orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). [At Taubah/9:107].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ , menunjukkan secara jelas larangan memecah-belah kaum muslimin, sehingga wajib bagi mereka untuk menyatukan kekuatan. Hal ini tidak bakal terjadi, kecuali dengan berjama’ah bersama imam rawatib.

Imam Al Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi menjelaskan maksud ayat ini dengan pernyataannya,“Maknanya, mereka berada pada satu jama’ah di satu masjid. Lalu kaum munafiq ingin memecah-belah kesatuan mereka dalam ketaatan, dan mengajak mereka kepada kekufuran dan maksiat. Ini menunjukkan, bahwa tujuan terbesar dan jelas dalam penetapan jama’ah ialah menyatukan hati dan persatuan dalam ketaatan. Mengendalikan dan melarang melakukan perbuatan yang rendah, sehingga timbul rasa senang berkumpul serta membersihkan hati dari noda kedengkian dan iri hati. Imam Malik mengerti akan makna ini, ketika menyatakan,’Tidak boleh ditegakkan shalat dua jama’ah dalam satu masjid, baik dengan dua imam atau satu imam’. Beliau menyelisihi ulama lainnya.”[9]

2. Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِيْ المَدِيْنَةِ يُرِيْدُ الصَّلاَةََ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ

Sesungguhnya Rasulullah datang dari pinggiran Madinah ingin menunaikan shalat. Lalu mendapati orang-orang telah selesai shalat berjama’ah. Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya dan mengimami mereka shalat.[10]

Hadits ini menunjukkan, tidak bolehnya jama’ah kedua. Karena seandainya diperbolehkan, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan keutamaan masjid Nabawi.[11]

Ibnu ‘Abidin menyatakan dalam Hasyiyah Radul Mukhtar (1/553), “Seandainya diperbolehkan jama’ah kedua, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilih shalat di rumah dari berjama’ah kedua di masjid.”[12]

Demikian juga mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

Sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengimami shalat, lalu ditegakkan (dilaksanakan). Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka tersebut.[13]

Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya jama’ah kedua dalam satu masjid. Karena seandainya diperbolehkan, maka ancaman pembakaran tersebut tidak ada artinya. Hal ini karena mereka dapat mengambil udzur dari jama’ah pertama dengan menyatakan, kami akan melaksanakan jama’ah kedua.

Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ , bermakna shalat yang diperintahkan untuk ditegakkan atau dilaksanakan ialah shalat jama’ah yang pertama. Karena kata (الصَّلاَةَ) diberi tambahan huruf alif dan lam, sehingga menunjukkan shalat jama’ah yang pertama. Hal ini menguatkan pendapat larangan jama’ah kedua. Karena seandainya diperbolehkan, tentu dikatakan لاَ يَشْهَدُوْنَ صَلاَةً tanpa huruf alif dan lam.

3. Atsar Sahabat.
Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm (1/136) menyatakan,“Apabila seseorang mendapatkan masjid yang dipakai berjama’ah, lalu tertinggal shalat jama’ah. Seandainya ia mendatangi masjid lain untuk berjama’ah, ini lebih saya sukai. Apabila ia tidak mencari masjid lain, lalu shalat sendirian di masjidnya tersebut, maka itu baik. Apabila satu masjid memiliki imam rawatib (tetap) lalu seseorang atau sejumlah orang tertinggal shalat berjama’ah, maka mereka shalat sendiri-sendiri. Saya tidak menyukai mereka shalat berjama’ah padanya. Jika mereka melakukan shalat sendirian tersebut, maka ia mendapat pahala berjama’ah. Hal ini (berjama’ah) dilarang bagi mereka, karena bukan merupakan amalan para salaf sebelum kita. Bahkan sebagian mereka mencelanya.”[14]

Imam Syafi’i menyatakan lagi, “Sungguh, kami telah mengetahui secara pasti, bahwa jika sejumlah sahabat tertinggal jama’ah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka shalat sendiri-sendiri -sepengetahuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Padahal mereka mampu untuk berjama’ah. Demikian juga kami ketahui, sejumlah orang tertinggal jama’ah shalat, lalu mendatangi masjid dan shalat sendiri-sendiri, padahal mereka mampu melakukan jama’ah kedua di masjid tersebut. Namun mereka shalat sendiri-sendiri. Mereka tidak menyukainya, hanya agar tidak ada shalat jama’ah dua kali pada satu masjid.”[15]

Pernyataan seorang mujtahid seperti ini tentu memiliki sumber rujukan. Diantaranya ialah pernyataan Al Hasan Al Bashri yang mengatakan, “Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah shalat, maka mereka shalat sendiri-sendiri.”[16]

Demikian juga atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Imam Abdirrazaq Ash Shan’ani dari Ma’mar dari Hammad bin Ibrahim, bahwa Al Qamah dan Al Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud ke masjid. Lalu orang-orang menyongsong mereka dalam keadaan telah shalat. Lalu Ibnu Mas’ud pulang bersama keduanya ke rumah. Salah seorang mereka lalu berdiri di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kirinya. Kemudian Ibnu Mas’ud mengimami mereka shalat.[17]

Seandainya jama’ah kedua diperbolehkan, tentulah Ibnu Mas’ud tidak berjama’ah di rumah. Apalagi berjama’ah di masjid jelas lebih utama. Demikian juga sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya, tidaklah shalat sendiri-sendiri, padahal mampu untuk melakukan jama’ah.

Hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat Sahnun dari Ibnul Qasim dari Malik dari Abdurrahman Al Mujabbar. Beliau berkata, “Aku masuk bersama Salim bin Abdillah pada satu masjid jami’ dalam keadaan orang-orang telah selesai shalat. Lalu mereka berkata, ’Mengapa tidak shalat berjama’ah?’ Salim bin Abdillah bin Umar menjawab,’Tidak boleh shalat berjama’ah dalam satu shalat pada satu masjid dua kali’.”[18]

Pernyataan Imam Salim bin Abdillah bin Umar ini menunjukkan tidak dibolehkannya berjama’ah lebih dari satu pada satu masjid. Hal ini juga disepakati oleh sejumlah tabi’in, diantaranya Ibnu Syihab, Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id.

Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, bahwa jama’ah kedua dapat menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena jika seseorang mengetahui akan tertinggal jama’ah, tentu ia akan segera bergegas, sehingga jumlah jama’ahnya menjadi banyak. Akan tetapi, jika mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah dengan adanya jama’ah yang kedua, tentu menyebabkan seseorang bersantai-santai, yang berakibat jumlah jama’ah shalat menjadi sedikit. Padahal sedikitnya jumlah jama’ah shalat dimakruhkan.

Demikian pula mereka menyatakan, bahwa jama’ah-jama’ah yang tertinggal (jama’ah kedua dan seterusnya) dapat dikatakan sebagai jama’ah orang yang malas. Lalu bagaimana mereka mendapatkan pahala jama’ah, padahal mereka tertinggal jama’ah pertama dan tidak memenuhi panggilan Allah tepat waktu?! Sungguh membolehkan adanya jama’ah kedua dan seterusnya, dapat menghilangkan jama’ah pertama dan mennyia-nyiakan hikmahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَىَ اللهِ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah shalat tepat waktu[19].

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاء فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang telah mendengar panggilan shalat lalu tidak memenuhinya, maka tidak ada baginya shalat, kecuali karena udzur.[20]

Demikian juga mereka menyatakan, bahwa dalam fatwa bolehnya mengadakan jama’ah kedua, akan mengecilkan makna shalat berjama’ah.

As Sarkhasi menyatakan, “Sesungguhnya, kita diperintahkan memperbanyak jumlah jama’ah pertama. Dan pengulangan jama’ah shalat pada satu masjid akan menguranginya. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah, maka mereka bersegera hadir sehingga jumlah anggota jama’ahnya menjadi banyak. Apabila mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka mereka memperlambat. Lalu hal ini mengurangi jumlah jama’ah.”[21]

Setelah membawakan pendapat Imam Malik, berkatalah Al Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, “Ini adalah makna yang dijaga dalam syari’at dari penyimpangan ahli bid’ah. Agar mereka tidak meninggalkan jama’ah kemudian datang dan shalat dipimpin imam yang lain. Dengan demikian, akan hilang hikmah dan sunnah berjama’ah.”[22]

Mereka juga mengutarakan, bahwa jama’ah kedua menimbulkan kemalasan dan meremehkan jama’ah pertama. sehingga sebab kemakruhan hukumnya makruh.

Pendapat ini dirajihkan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah dengan menyatakan : Kesimpulannya, jumhur ulama memandang tidak boleh mengulang jama’ah shalat pada satu masjid, dengan syarat terdahulu. Inilah yang benar. Dan pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits yang masyhur:

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيْ مَعَهُ

Adakah orang yang bershadaqah kepada orang ini lalu shalat bersamanya

Karena paling-paling (lantaran) hanya ada anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang yang telah shalat bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada jama’ah pertama untuk shalat sunah di belakang orang tersebut. Maka demikian ini adalah shalat sunah di belakang orang yang shalat wajib. Padahal pembahasan kita ialah mengenai shalat wajib di belakang orang yang mengerjakan shalat wajib, yang dikarenakan kehilangan jama’ah pertama. Sehingga tidak boleh dianalogikan dengan kisah tersebut. Karena ini termasuk analog dengan adanya perbedaan (qiyas ma’al fariq). Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:

  1. Bentuk pertama (jama’ah kedua dalam shalat wajib) belum pernah dinukil dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik izin atau persetujuan. Padahal itu ada di zamannya, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al Hasan Al Bashri.
  2. Jama’ah kedua ini menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah, mereka akan bersegera, sehingga jumlah anggota jama’ah pertama menjadi banyak. Sebaliknya, jika mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka memperlambat hadir, sehingga mengurangi jumlah anggota jama’ah pertama. Padahal pengurangan jumlah jama’ah dimakruhkan. Tidak ada sedikitpun persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas hal yang dilarang ini. Sehingga terbukti perbedaannya. Kalau demikian, tidak boleh mengambil dalil dari hadits tersebut dalam menyelisihi sesuatu yang sudah ditetapkan.”[23]

Demikian uraian singkat pendapat dan dalil mereka dalam permasalahan hukum jama’ah kedua dalam satu masjid.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat pendapat Syaikh Shalih Sadlan dalam Shalatul Jama’ah, Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 100.
[2] Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, 4/222.
[3] Lihat I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 11.
[4] Dinukil Syaikh Masyhur dalam I’lamul Abid, hal. 12 dari kitab Fathul ‘Ali Al Malik Fil Fatawa ‘Ala Madzhab Imam Malik 1/92-94.
[5] I’lamul ‘Abid, hal. 13.
[6] Lihat Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 102
[7] Al Umm 1/180.
[8] Al Umm 1/180.
[9] I’lamul ‘Anid, hal. 32-33
[10] Syaikh Al Albani menyatakan dalam Tamamul Minnah, hal. 155, hadits ini hasan. Imam Al Haitsami (2/45) menyatakan,“Hadits ini diriwayatkan At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Ausath. Semua perawinya tsiqat.” Sedangkan Syaikh Masyhur Hasan menambahkan, bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, 6/2398. Lihat I’lamul ‘Abid, hal. 36.
[11] Lihat Al Mabsuth, 1/135 dan Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ At Tirmidzi, 2/10.
[12] Dinukil dari I’lamul ‘Abid, hal. 36-37.
[13] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, Bab Wujub Shalatil Jama’ah, no. 644 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Masajid Wa Mawadhi’ush Shalat, Bab Fadhlu Jama’ah Wa Tasydid Fi Takhaluf Anha, no.651.
[14] Dinukil Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 156.
[15] Al Umm, 139.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 2/223 dan dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157.
[17] Mushannaf 2/409 no. 3883. Atsar ini dihasankan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 155.
[18] Al Mudawanah 1/89 dengan para perawi yang tsiqat.
[19] Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqit Ash Shalat, Bab Fadhlu Ash Shalat Liwaqtiha, no. 527 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Bayani Kaunil Iman Billahi Afdhalul A’mal 1/89.
[20] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab Taghklidz Fit Takhalif ‘Anil Jama’ah 1/260 no.793, dan dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 2/336-339 no. 551.
[21] I’lamul ‘Abid, hal 45 menukil dari Al Mabsuth 1/135-136.
[22] Aridhatul Ahwadzi 2/21.
[23] Tamamul Minnah hal 158.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/46124-hukum-jamaah-kedua-dalam-satu-masjid1.html